Semua akan P(Indah) pada Waktunya

Mutasi oh mutasi
Baru saja SK Mutasi terbit lagi. Mutasi memang biasa terjadi di semua organisasi, berbagai macam pertimbangannya.  Sebagai bentuk penyegaran organisasi, sebagai sarana promosi dan pengembangan kompetensi, transfer knowledge dan pengalaman, dan terlebih di organisasi seperti kami, mutasi penting sekali untuk menjaga independensi : mengurangi adanya benturan kepentingan.

Mutasi memang tidak bisa dihindari. Bahkan saat kami pertama kali mengucap sumpah setia pada negara saat pengangkatan CPNS/PNS pun, kami sadar konsekuensinya, bahwa harus siap mengabdi di mana saja, ditempatkan di mana saja, pindah kapan saja. Tapi memang tidak semudah itu ternyata. Selalu butuh persiapan yang matang untuk menghadapi mutasi.

Karena dalam beberapa tahun terakhir ini saya bertugas di internal auditor organisasi, mau tidak mau masalah mutasi ini menjadi salah satu isu yang menarik dibicarakan. Bagaimana tidak? Masalah mutasi ini nyatanya bisa manjadi seribu masalah terkait dengan pelanggaran disiplin/kode etik yang dilakukan oleh pegawai. Sebut saja apa pelanggarannya, selalu saja bisa dikaitkan dengan masalah mutasi ini.  Apa saja? Berikut ini beberapa contohnya.

Pertama, masalah perselingkuhan/perzinaan. Masalah ini tentu saja gampang ditebak kaitannya dengan masalah mutasi. Jauh dari keluarga, tidak selalu bisa pulang (apalagi saat pendemi seperti ini), kesepian, butuh teman curhat, intensitas bertemu dengan lawan jenis yang bukan pasangan,,menjadi satu rangkaian yang menyebabkan terjadinya perselingkungan/perzinaan di kalangan PNS. Korbannya bisa siapa saja, baik sesama pegawai ataupun pegawai dengan stakeholder. Yang melaporkan adaya kejadian perselingkuhan/perzinaan juga bisa siapa saja. Suami/istri pegawai terkait, teman satu kantor/ satu tim yang merasa risih, pihak lain yang mengetahui hubungan tersebut, siapa saja bisa melaporkan. Masalah ini biasanya bisa berlanjut pada masalah adanya perkawinan atau perceraian yang tidak dilaporkan kepada instansi. Akibatnya juga bisa merembet ke masalah kerugian negara atas adanya tunjangan suami/istri yang seharusnya sudah dihentikan pembayarannya.

Kedua, masalah gratifikasi. Mutasi identik dengan kebutuhan hidup yang meningkat pula. Bagaimana tidak, bagi pegawai yang sudah berumah tangga, artinya pegawai tersebut harus menghidupi dua dapur. Belum lagi mahalnya ongkos transportasi (pesawat/kereta) dari dan menuju homebase. Kebutuhan hidup yang meningkat tentu saja bisa jadi pemicu terjadinya gratifikasi. Gratifikasi ini biasanya kemasannya bisa macam-macam, entah berupa penerimaan sejumlah uang, atau bisa fasilitas lainnya, misalnya fasilitas pesawat, penginapan, ataupun rekreasi yang dapat dipergunakan saat keluarga datang berkunjung ke lokasi kerja. Gratifikasi juga biasanya datang dengan rentetan pelanggaran disiplin pegawai/kode etik lainnya, misalnya terkait penyalahgunaan wewenang, merubah fakta pemeriksaan, benturan kepentingan, dan lain sebagainya. Gratifikasi kadangkala ditemukan juga pada kasus perselingkuhan yang terjadi antara pegawai dengan stakeholder. Penerimaan atau pemberian yang diterima/diberi oleh seorang pegawai dari selingkuhannya bisa jadi dikenakan juga pasal gratifikasi.

Ketiga, masalah kinerja. Bagi pasangan atau keluarga yang hidup berjauhan, setiap detik yang dapat dihabiskan bersama keluarga pasti amatlah berharga. Sangat wajar apabila pegawai yang menjalani LDR tersebut akan berusaha memperlama waktunya untuk bisa berkumpul bersama keluarga. Namun apa daya, sang pegawai harus kembali bekerja.  Untuk itu biasanya dipilihlah penerbangan/jadwal kereta dengan waktu yang memungkinkan untuk berlama-lama bersama keluarga walaupun dengan risiko terlambat bekerja atau harus pulang lebih awal. Apabila diakumulasi, keterlambatan atau pulang awal tersebut bisa jadi melebihi jangka waktu ketidakhadiran sesuai yang disyaratkan dengan jenis hukuman disiplin tertentu. Masih mending kalau hanya terlambat, kalau akhirnya bolos kerja? Semakin panjang lagi konsekuensinya. 
Tidak hanya masalah ketidakhadiran, pola pulang pergi ke homebase yang menjadi suatu rutinitas bisa jadi menjadikan si pegawai menjadi kelelahan. Apalagi saat-saat di rumah si pegawai biasanya juga tidak bisa beristirahat karena anak istri/suami pingin jalan-jalan. Kelelahan, ditambah lagi mungkin adanya masalah keluarga yang lainnya, bisa jadi menjadikan si pegawai menjadi stress dan tidak fokus bekerja, sehingga kinerja pegawai menjadi menurun. Hati-hati, bila berlarut-larut, bisa saja hal tersebut berpengaruh ke penilaian kinerja pegawai. Kalau penilaian kinerja menurun, lagi-lagi ujungnya sanksi disiplin pegawai juga.

----------------------------------------------Jadi, apa yang sudah kita persiapkan untuk menghadapi mutasi?

Komentar