Satu Lagi, Pemimpin Perubahan (Belajar dari Kepala Perwakilan Jawa Timur, Joko Agus Setiyono)


(Tulisan ini terinspirasi atas paparan dan situasi pada saat Kalan Jawa Timur, Bapak Joko Agus Setiyono menjadi narasumber pada Workshop Upaya Peningkatan dan Pengembangan Budaya Kerja di Lingkungan BPK pada tanggal 29 Juli 2021)

 

“Pemimpin terbesar belum tentu orang yang melakukan hal-hal besar. Pemimpin adalah orang yang membuat orang melakukan hal besar “ (Ronald Reagan)

 

Kehidupan dan perubahan adalah suatu hal yang tidak dapat dipisahkan. Perubahan adalah keniscayaan, pun dalam suatu organisasi. Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya suatu perubahan dalam organisasi, baik faktor eksternal maupun internal. Dari sisi ekternal, beberapa faktor yang dapat mendorong terjadinya perubahan antara lain perubahan regulasi dan politik, perkembangan teknologi informasi, tuntutan stakeholder, kompetisi, bencana alam, dan lain sebagainya. Sedangkan dari faktor internal, perubahan mungkin terjadi karena adanya perubahan atas visi misi organisasi, keterbatasan sumber daya, gaya kepemimpinan, atau faktor-faktor dari dalam lainnya.

Perubahan dapat terjadi karena sesuatu yang memang direncanakan atau tidak direncanakan. Perubahan dapat terjadi pada hal-hal yang bersifat rutin dan kontinyu, atau dapat saja terjadi pada kegiatan yang sifatnya strategis dan tidak terjadi berulang-ulang. Perubahan bisa saja menjadi peluang, namun bisa juga sebaliknya, malah menjadi ancaman ketika tidak ditangani dengan baik. Organisasi perlu merespon seluruh perubahan yang terjadi, sehingga organisasi dapat berkembang dengan baik, atau malahan menjadikan hal tersebut menurunkan kinerja organisasi.

Selalu ada pilihan bagi para manajeman organisasi dalam menyikapi perubahan, manajeman dapat memilih untuk mengelola ataupun tidak mengelola perubahan tersebut. Manajeman dapat saja memilih untuk mengabaikan perubahan yang terjadi dan berharap nantinya perubahan tersebut secara alamiah teratasi dengan sumber daya yang dimiliki. Namun demikian untuk menjadi pemenang, manajeman perlu melakukan serangkaian kegiatan terkait manajeman perubahan.

Manajeman Perubahan

Banyak ahli menjelaskan makna dari perubahan. Davidson (2005) dalam Saefullah dan Rusdiana (2016 : 30)[1] menjelaskan bahwa perubahan diartikan terjadinya sesuatu yang berbeda dari kondisi sebelumnya. Sesuatu yang berbeda tersebut dapat berupa cara yang baru, jalur yang baru, memasang sistem yang baru, dan lain sebagainya. Sedangkan Beer (2002 : 452)[2] menitikberatkan pada tindakan yang berbeda sehingga menghasilkan perubahan. Jadi, apabila dengan tidakan yang berbeda tersebut ternyata tidak membawa suatu perubahan, maka hal tersebut hanyalah memperkuat statuq quo, bukan perubahan.

Kaitannya dengan sebuah organisasi, Greenberg dan Baron (2003) dalam Wibowo (2018:105)[3] memberikan batasan bahwa perubahan organisasi merupakan transformasi secara terencana maupun tidak terencana di dalam struktur organisasi. Dengan adanya perubahan, organisasi menuju kepada keinginan yang diinginkan di masa depan. Banyak perubahan yang terjadi di organisasi muncul dari kesadaran bahwa telah terjadi sesuatu masalah pada organisasi tersebut. Perubahan pada organisasi terjadi biasanya diawali dengan adanya suatu kekacauan yang membuat suasana menjadi berantakan. Biasanya pertimbangan utama suatu organisasi berubah terkait dengan kepentingan stakeholder utama dan budaya (Fullan dalam Wibowo, 2018:106). Kasali (2005) dalam Arijanto, dkk (2018 : 8)[4], menjelaskan beberapa karakteristik perubahan supaya lebih mudah dipahami :

1.       Perubahan bersifat misterius dan tidak mudah dipegang;

2.       Memerlukan adanya tokoh dalam melakukan perubahan;

3.       Tidak semua orang bisa diajak untuk ikut serta dalam perubahan;

4.       Perubahan terjadi setiap saat secara kontinyu;

5.       Perubahan mengkonsumsi sumber daya, baik waktu, tenaga, pikiran, maupun biaya;

6.       Ada sisi lembut dan sisi keras dari perubahan;

7.       Dibutuhkan upaya khusus untuk membangun nilai dasar/ budaya organisasi;

8.       Banyak diwarnai mitos;

9.       Perubahan menimbulkan ekspektasi yang dapat menimbulkan getaran emosi dan harapan; dan

10.    Perubahan selalu menakutkan dan menimbulkan kepanikan,

Dari beberapa definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa perubahan erat kaitannya dengan ketidakpastian dan kekacauan. Perubahan adalah pedang bermata dua, harapan sekaligus ketakutan. Untuk itu, organisasi yang ingin menjadi pemenang dalam suatu perubahan, harus merupakan serangkaian upaya manajeman perubahan.

Poots dan LaMarsh (2004)  dalam Wibowo (2018:241) menjelaskan bahwa manajeman perubahan adalah suatu rangkaian proses yang sistematis dalam menerapkan pengetahuan, sarana, dan sumber daya yang diperlukan untuk mempengaruhi perubahan pada manusia yang akan terkena dampak dari proses perubahan tersebut. Winardi (2005:59)[5] menjelaskan bahwa manajeman perubahan adalah upaya yang ditempuh manager untuk mengelola perubahan secara efektif yang mana diperlukan pemahaman mengenai persoalan motivasi, kepemimpinan, kelompok, konflik, dan komunikasi, agar organiasasi tersebut tetap bertahan dan bahkan mencapai puncak perkambangan. Sedangkan dalam konteks Reformasi Birokrasi dan Pembangunan Zona Integritas, Peraturan Menteri PAN dan RB Nomor 10 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri PAN dan RB Nomor 52 tahun 2014 tentang Pedoman Pembangunan Zona Integritas Menuju Wilayah Bebas dari Korupsi dan Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani di Lingkungan Instansi Pemerintah menjelaskan bahwa tujuan dari pembangunan manajeman perubahan adalah mengubah secara sistematis dan konsisten mekanisme kerja, pola pikir (mind set) dan budaya kerja (culture set) individu pada suatu unit kerja menjadi lebih baik.

Dari berbagai definisi mengenai manajeman perubahan, dapat diambil suatu kesamaan bahwa seluruhnya selalu berfokus pada individu (manusia). Mengapa berfokus pada manusia, karena hambatan utama atas keberhasilan perubahan adalah adanya resistensi dari manusia yang terlibat dalam perubahan. Individu-individu dalam suatu organisasi adalah penggerak dari berjalannya proses di suatu organisasi itu sendiri. Individu-individu inilah yang membangun motivasi, menentukan sikap, membentuk nilai, dan citra diri, yang akhirnya akan tercermin dalam etos kerja. Untuk itu, memahami mengapa anggota organisasi menolak untuk berubah dan bagaimana mengelola resistensi tersebut merupakan inti dari manajeman perubahan.

Untuk bisa menghadapi perubahan dengan baik, organisasi setidaknya perlu mempersiapkan dan memperhitungkan adanya faktor-faktor berikut (Wibowo. 2018 : 270-272).

Pertama, adanya pemimpin yang dihargai dan efektif dalam bekerja. Pada banyak kondisi, pertimbangan mengenai besarnya pendapatan dan reward yang diberikan kepada pegawai tidaklah cukup. Perlu hadirnya pemimpin yang dihargai oleh bawahan yang bisa mempertahankan loyalitas dan mendorong motivasi bawahan.

Kedua, adanya kondisi bahwa orang termotivasi untuk berubah. Ketidakpuasan atas status quo dan adanya keinginan kuat untuk menjadi lebih baik adalah motivasi terbaik untuk berubah. Untuk itu, manajeman perlu mengidentifikasi masalah yang terjadi serta membangun mindset untuk meningkatkan motivasi tersebut.

Ketiga, ciptakan organisasi yang tidak hierarkis dan membiasakan orang berkerja dalam kolaborasi. Perubahan yang efektif perlu adanya kolaborasi antar pihak yang berkeinginan dan termotivasi. Untuk iu, hierarki hendaknya dipangkas. Hal teresebut sangatlah penting untuk membangun komunikasi yang efektif.

Kondisi-kondisi yang ingin dicapai dalam mempersiapkan diri untuk menghadapi perubahan mungkin saja dapat tercapai dengan alamiah, namun membutuhkan waktu yang cukup lama. Untuk itu, manajeman organisasi harus mengupayakan hal tersebut terjadi lebih cepat. Langkah awal yang perlu dilakukan adalah dengan mengukur kesiapan setiap unit di organisasi. Kondisi tiap unit mungkin saja berbeda. Satu unit dan unit yang lain bisa saja mempunyai keunggulan masing-masing. Perubahan mungkin saja bisa dilakukan pada unit yang lebih siap terlebih dahulu untuk membangkitkan motivasi unit lainnya. Manajeman organisasi juga perlu mengembangkan sistem kerja yang lebih partisipatif dan memberikan kesempatan lebih luas kepada para anggota organisasi untuk bersuara. Hal tersebut bisa dilakukan misalnya dengan memperbanyak saluran-saluran informal dalam berkomunikasi, membangun kolaborasi melalui pembentukan tim lintas unit, menghilangkan simbol-simbol hierarki (pembagian ruangan, sapaan, dan lain sebagainya), mendelegasikan wewenang dalam pengambilan keputusan, dan lain sebagainya.

 

Pemimpin Transformasional sebagai Motor Perubahan

Pemimpin adalah motor perubahan. Tampaknya hal tersebut sudah menjadi suatu yang wajar bagi organisasi di manapun. Dalam mengelola perubahan, seorang pemimpin dapat memilih gaya kepemimpinan masing-masing. Namun demikian, banyak penelitian menyatakan bahwa untuk menghadapi situasi perubahan yang kian ekstrim ke depannya, gaya kepemimpinan transformasionallah yang paling tepat diterapkan dalam manajeman perubahan.

Gaya kepemimpinan transformasional seringkali disandingkan dengan gaya kepemimpinan transaksional. Apabila pemimpin transaksional menggerakan bawahannya dengan cara menegosiasikan hadiah dan atau hukuman, maka pemimpin transformasional akan membuat bawahan bergerak karena adanya kesamaan visi, sehingga bergeraknya para bawahan adalah karena motivasi pribadi (sukarela) dengan atau tanpa adanya reward dan atau punishment. Kepemimpinan transaksional akan membuat orang mencapai norma dan harapan organisasi, sedangkan pemimpin transformasional akan membuat orang bergerak melebihi ekspektasi (Juhro. 2020: 51-51)[6]. Apabila disandingkan demikian, seolah-olah gaya kepemimpinan transaksional lebih buruk daripada kepemimpinan transformasional. Namun sebenarnya tidak demikian, kedua jenis kepemimpina tersebut diperlukan. Umumnya kepemimpinan trasaksional tepat diterapkan pada organisasi baru, sebelum beranjak pada tahapan kepemimpinan transformasional. Dengan kata lain, organisasi yang telah mapan dan ingin terus berkembang, perlu lebih fokus kepada manusia, bukan lagi sekedar output. Transformational leadershiplah jawabannya.

Robins (2007) dalam Hairudinor, dkk (2020)[7] menyatakan bahwa seorang pemimpin transformasional akan mencurahkan perhatian pada hal-hal terkait kebutuhan dan pengembangan diri individu organisasi yang dipimpinnya. Pemimpin transformasional akan berusaha mengubah pandangan lama menjadi pandangan-pandangan baru, mencoba menggairahkan dan mendorong para anggota organisasi untuk mengembangkan diri dan potensinya sehingga pada akhirnya akan mendukung tercapainya tujuan organisasi.

Inti dari kepempimpinan transformasional adalah mengimplementasikan pemberdayaan. Pemberdayaan merupakan pendekatan pengelolaan sumber daya manusia yang bersifat bottom-up. Dalam konsep pemberdayaan, setiap individu dalam organiasai akan didorong untuk lebih terlibat dalam keputusan dan aktivitas yang memengaruhi pekerjaan (Smith dalam Wibowo, 2018:408). Pemberdayaan memungkinkan setiap individu dalam organiasai membuat keputusan yang lebih besar, sehingga mereka bersedia menerima tanggung jawab yang lebih besar pula melebihi tugasnya. Hal ini akan berpengaruh positif bagi organisasi bahwa setiap individu akan memberikan kontribusi terbaik bagi organisasi terebut.

Dalam upaya mengimplementasikan pemberdayaan, Wibowo (2018: 347-352) menyatakan bahwa untuk memenangkan perubahan, seorang pemimpin transformasional setidaknya mempunyai peran sebagai berikut.

1.       Menciptakan hubungan kerja yang efektif. Untuk membangkitkan iklim pemberdayaan, pemimpin dituntut untuk mempunyai sikap menghargai bawahan, menunjukkan empati, serta bersikap tulus;

2.       Pergeseran fungsi manajer. Apabila dalam hierarki kepemimimpinan konvensional seorang pemimpin lazimnya berada pada puncak piramida, maka dalam pandangan pemberdayaan seorang pemimpin harus rela berada di piramida terbawah. Hal tersebut mengandung arti bahwa pemimpin harus bekerja untuk mendorong dan memenuhi kebutuhan anak buahnya (Empowering Manager);

3.       Memimpin dengan contoh. Pada konsep pemberdayaan, komitmen yang ingin dibangun dari anggota organisasi adalah mengenai kepercayaan kepada orang yang bertanggungjawab kepada para bawahan. Hal tersebut dapat dicontohkan misalnya jika pimpinan ingin bawahan melakukan apa yang dikatakan, maka dia harus membuktikan bahwa dirinya dapat dipercaya. Jika pimpinan ingin anggota organisasi menjadi pribadi yang inovatif, maka seorang pimpinan harus berani mengambil risiko atas kegagalan implementasi inovasi, dan lain sebagainya.

4.       Memengaruhi orang lain. Dalam menuju perubahan yang ingin dituju, pemimpin harus dapat memengaruhi secara positif pihak-pihak yang terkait dengan perubahan. Pemimpin perlu memahami kapan harus memengaruhi, siapa yang akan dipengaruhi, pendekatan yang harus digunakan, dan keterampilan yang diperlukan untuk memengaruhi.

5.       Mengembangkan team work. Dengan semakin besarnya tantangan yang akan dihadapi di masa mendatang, seorang pemimpin diharapkan mampu mengembangkan team work lintas sektoral. Orientasi tim tidak lagi berbicara pada keahlian/ kemampuan yang homogen, namun harus diarahkan kepada cross functional team yang mempunyai kecakapan lengkap untuk menjawab semua permasalahan;

6.       Melibatkan bawahan dalam pengambilan keputusan. Apabila manajeman konvensional cenderung mengambil keputusan dengan cara top down, maka di era pamberdayaan, pemimpin perlu mendelegasikan sebagian kewenangannya kepada bawahan. Keputusan yang diambil perlu mempertimbangkan masukan dari bawahan sehingga akan timbul rasa memiliki dan bawahan akan merasa ikut bertanggungjawab atas keputusan yang diambil;

7.       Menjadikan pemberdayaan sebagai way of life. Pemimpin harus menjadikan pemberdayaan sebagai suatu kebiasaan yang tercipta senatural mungkin dalam suatu organiasasi. Pemberdayaan menjadikan anggota organisasi merasa lebih bahagia dan termotivasi, dengan demikian iklim kerja akan menjadi lebih kondusif guna mendukung tercapainya perubahan;

8.       Membangun komitmen. Perubahan menuntut adanya beban tugas dan tanggung jawab yang lebih besar. Untuk itu, dukungan dari pemimpin sangatlah diperlukan. Namun demikian, dukungan tersebut tidak akan berarti tanpa adanya respon yang positif dari para anggota organiasasi. Oleh karenanya diperlukan komitmen bersama dari segenap stakeholder yang terlibat dalam proses perubahan tersebut. Disinilah peran pemimpin diperlukan. Pemimpin harus bisa menjadi faktor penggerak peningkatan komitmen tersebut.

Kaitannya dengan pengembangan inovasi, seorang pemimpin transformasional dituntut untuk mempunyai kompetensi yang mendukung munculnya inovasi di suatu organisasi. Kompetensi tersebut meliputi adanya visi dan misi yang jelas, keterbukaan, dukungan terhadap inovasi, otonomi yang diberikan kepada followers (bawahan), dorongan (encouragement), penghargaan kepada followers, serta menerima tantangan. Inovasi juga berkaitan dengan kualitas pengambilan keputusan dan agility (Elkins dan Killer dalam Juhro, dkk. 2020:195)[8].

Menurut Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 27 Tahun 2014 tentang Agen Perubahan, untuk mengakselerasi tujuan dari perubahan, organisasi memerlukan peran dari agen perubahan. Dalam hal ini, agen perubahan dapat diemban oleh pemimpin pada setiap level, atau dengan menunjuk seseorang atau sekelompok pegawai yang dinilai mempunyai kecakapan yang memumpuni. Setidaknya terdapat lima fungsi yang diemban oleh seorang agen perubahan. Pertama, seorang agen perubahan harus berfungsi sebagai katalis, yaitu bertugas memberikan keyakinan kepada seluruh pegawai di lingkungan unit kerjanya masing-masing tentang pentingnya perubahan unit kerja menuju ke arah unit kerja yang lebih baik; Kedua, sebagai  penggerak perubahan, yang bertugas mendorong dan menggerakkan pegawai untuk ikut berpartisipasi dalam perubahan menuju ke arah unit kerja yang lebih baik; Ketiga, sebagai pemberi solusi, yang bertugas memberikan alternatif solusi kepada para pegawai atau pimpinan di lingkungan unit kerja yang menghadapi kendala dhalam proses berjalannya perubahan unit kerja menuju unit kerja yang lebih baik; Keempat, sebagai mediator yang bertugas membantu memperlancar proses perubahan, terutama menyelesaikan masalah yang muncul dalam pelaksanaan reformasi birokrasi dan membina hubungan antara pihak-pihak yang ada di dalam dan pihak di luar unit kerja terkait dengan proses perubahan; dan kelima, sebagai penghubung, yang bertugas menghubungkan komunikasi dua arah antara para pegawai di lingkungan unit kerjanya dengan para pengambil keputusan.

 

Komitmen Perubahan BPK Perwakilan Jawa Timur

Menyadari tugas dan fungsi ASN sebagai pelayan publik, Perwakilan Jawa Timur berkomitmen untuk selalu memberikan nilai tambah pada layanan publik yang diberikan.  Semakin besarnya tuntutan publik atas kinerja Perwakilan Jawa Timur, menjadikan Perwakilan Jawa Timur bertekad untuk melakukan perubahan demi memberikan pelayanan publik yang lebih baik.

Untuk menuju perubahan tersebut, Perwakilan Jawa Timur telah menyusun dan mengembangkan budaya kerjanya. Budaya kerja yang dikembangkan saat ini diberi tagline BPK JATIM, yaitu :

     do the Best

     Dalam segala sisi kehidupan, baik dalam keluarga, kantor, dan keseharian lainnya, setiap pegawai diharapkan selalu melakukan yang terbaik sebagai wujud ibadah yang sejati.

     disciPline

Disiplin dalam manajemen waktu.

     worK smart

Bekerja cerdas dengan mengoptimalkan fasilitas dan sumber daya yang ada.

     enJoy

Pegawai BPK Jawa Timur menikmati setiap pelaksanaan tugas, dan hal tersebut dimulai dari rumah, dari keluarga.

     teAm work

Setiap pegawai selalu mengedepankan kerja sama tim dalam bekerja, kompak, dan bersinergi.

     respecT

Pegawai saling menghargai satu sama lain, tanpa merasa bahwa apa yang dia lakukan lebih baik dan lebih sempurna dari orang/pihak lain. Kekurangan/kelemahan tim harus dijaga dengan saling melengkapi dan melihat segala sesuatu secara positif.

     never gIve up

Meski dalam keterbatasan, pegawai tidak pernah menyerah dalam upaya mencapai tujuan. Jika mengalami kesulitan, ambil jeda untuk kembali berdaya tahan dan bangkit dengan melakukan inovasi baru secara optimal.

     stay huMble

Pegawai selalu bersikap rendah hati kepada siapapun, sesama pegawai, kepada atasan/bawahan, keluarga, auditee, dan siapapun yang ditemui.

Selain mengembangkan budaya kerja, untuk menunjukkan komitmennya terhadap pelayanan publik, Perwakilan Jawa Timur menetapkan slogan pelayanan yang diberi tagline ‘MANTAP’. Tagline tersebut apabila dijabarkan sebagai berikut

         BPK Jawa Timur MELAYANI stakeholders dengan prima dalam memenuhi permintaan konsultasi dari DPRD, memberikan penjelasan terkait isi LHP maupun tindak lanjut atas rekomendasi hasil pemeriksaan kepada pemerintah daerah, memenuhi permintaan informasi publik dari pihak manapun, termasuk APH, serta melayani pengaduan masyarakat baik terkait dugaaan penyalahgunaan tata kelola keuangan negara/daerah maupun dugaan pelanggaran kode etik/gratifikasi oleh pegawai BPK Jawa Timur.

         Dalam memenuhi permintaan informasi publik, informasi yang disajikan adalah AKURAT, artinya sudah disampaikan dengan teliti, saksama, cermat, tepat, dan benar, sesuai dengan kaidah ketentuan perundangan yang berlaku.

         Dalam melakukan tugas pokok dan fungsinya, BPK Jawa Timur terhadap pihak yang meminta informasi publik ataupun menyampaikan pengaduan masyarakat, memberikan pelayanan yang ramah, responsif, serta menjaga kerahasiaan identitas yang bersangkutan, sehingga yang bersangkutan merasa NYAMAN dalam berinteraksi dengan BPK Jawa Timur.

         Pelayanan atas informasi publik diberikan secara TRANSPARAN mudah diakses melalui berbagai platform (surat, e-mail, e-PPID, dan WA Pengaduan Masyarakat), dengan prosedur yang mudah dipahami, tidak berbelit-belit, serta tidak dipungut biaya

         Pelayanan yang diberikan oleh BPK Jawa Timur dilakukan dengan ADIL, tanpa memandang pihak manapun berdasarkan suku, agama, ras, antar golongan (SARA), dan setiap stakeholder mendapatkan pelayanan yang sama, sesuai ketentuan yang berlaku.

         Secara PARIPURNA, BPK Jawa Timur membeikan pelayanan dengan lengkap, utuh, tuntas, dan telah melalui tahapan yang terstandar, dengan menjunjung tinggi nilai-nilai independensi, integritas, dan profesionalisme.

Sebagai langkah nyata dari komitmen perubahan tersebut, Perwakilan Jawa Timur giat melakukan inovasi.

Sebelum membahas lebih lanjut mengenai inovasi yang dilakukan oleh Perwakilan Jawa Timur, perlu dipahami terlebih batasan mengenai inovasi yang dibahas pada tulisan ini. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, inovasi (innovation) diartikan sebagai penemuan baru yang berbeda dari yang sudah ada atau yang sudah dikenal sebelumnya. Lebih lanjut, kata inovasi sering disandingkan dengan kata invention dan discovery, yang ketiganya akan mempunyai arti yang sama yaitu penemuan sesuatu yang baru. Saefullah dan Rusdiana (2016:10) menjelaskan bahwa discovery berkaitan dengan penemuan sesuatu yang sebenarnya sudah ada, namun belum diketahui atau ditemukan sebelumnya. Misalnya penemuan benua Amerika oleh Columbus. Benua Amerika tersebut dari dulu sudah ada, oleh karena petualangan yang dilakukan Columbuslah masyarakat luas mengetahui adanya Benua Amerika. Invention diartikan sebagai penemuan hal-hal yang benar-benar baru yang belum pernah ada sebelumnya. Misalnya penemuan suatu teori baru, atau produk baru yang sebelumnya memang belum ada sama sekali. Sedangkan inovasi (innovation) adalah suatu ide, benda, mekanisme, cara yang dirasakan baru bagi seseorang datau sekelompok orang. Inovasi diadakan untuk mencapai suatu tujuan tertentu.

Merujuk pada penjelasan tersebut, inovasi dalam pembahasan ini mencakup pada kegiatan-kegiatan/ide/gagasan yang terjadi di lingkungan BPK RI. Dalam konteks reformasi birokrasi dan Pembangunan Zona Integritas, bahkan suatu bentuk replikasipun dapat menjadi inovasi dengan beberapa modifikasi. Dalam membangun inovasi, perlu diperhatikan hal-hal berikut, yaitu 1) tujuan inovasi, apakah memang menjawab isu strategis terkait soluasi suatu masalah ataupun menjawab kebutuhan/keinginan stakeholder; 2) implementasi dari inovasi tersebut, apakah telah didukung dengan mekanisme kerja, sarana prasana yang memadai, dan telah menjadi bagian yang menyatu dengan sistem kerja organisasi; 3) pemanfaatan inovasi, apakah dapat berjalan dengan baik serta evaluasi lainnya; 4) sosialisasi atas inovasi yang dilakukan, serta 5) hasil dan dampak dari inovasi yang dilakukan, apakah memang menjawab tujuan dari lahirnya inovasi itu sendiri.

Dalam booklet Inovasi Perwakilan Jatim 2021, tercatat setidaknya terdapat 13 inovasi yang telah dan masih diimplementasikan dengan baik di Perwakilan Jawa Timur. Selain itu, terdapat tiga inovasi lain yang dalam tahap penembangan. Bidang inovasi yang diselenggarakanpun beragam, baik inovasi terkait pemeriksaan maupun pendukung pemeriksaan Setiap inovasi yang dikembangkan pada akhirnya selalu berakhir pada tujuan perubahan, yaitu memberikan layanan publik yang lebih baik kepada masyarakat.

Salah satu inovasi yang dilakukan oleh Perwakilan Jawa Timur yang menurut penulis perlu diperhitungkan adalah inovasi Whatsapp Layanan Pengaduan Masyarakat. Inovasi Whatsapp Pengaduan Masayarakat dibangun sebagai sarana untuk memberikan akses kemudahan bagi masyarakat untuk melakukan pengaduan.  Inovasi ini menarik, karena Perwakilan Jawa Timur jeli dalam  menjawab isu strategis terkait keinginan masyarakat untuk turut serta dalam melakukan pengawasan atas pengelolaan keuangan negara/ daerah. Melalui layanan ini, masyarakat dapat melakukan pengaduan terkait dugaan pelanggaran atas penyelenggaraan keuangan negara/daerah yang terjadi di wilayahnya. Walaupun diberi judul Whatsapp pengaduan masyarakat, adanya media Whatsapp Pengadauan Masyarakat tersebut dapat digunakan pula oleh masyarakat berkomunikasi secara lebih personal dengan Perwakilan Jawa Timur untuk menanyakan pertanyaan umum seputar BPK, permohonan informasi publik, ataupun keluhan/masukan lainnya, serta sebagai sarana Whistle Blowing System,

Pilihan menggunakan media Whatsapp juga merupakan pilihan yang tepat, karena whatsapp relatif user friendly dibandingkan dengan media lainnya, misalnya via aplikasi web-based, seperti yang biasanya digunakan oleh satker lainnya di BPK. Whatsapp juga merupakan aplikasi yang sangat popular di Indonesia dan diakses oleh banyak orang. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh GlobalWebIndex (GWI) seperti yang dipublikasikan oleh datareportal.com[9], pada Januari 2021, dari 274,9 juta jiwa penduduk Indonesia, sebanyak 73,7% nya atau sebesar 202,6 juta jiwa adalah pengguna internet. Dari total pengguna internet tersebut, Whatsapp merupakan aplikasi yang paling sering digunakan oleh para pengguna internet (sebesar 87,7%). Angka tersebut adalah yang kedua setelah penggunaan Youtube (93,8%). Whatssapp juga merupakan aplikasi sosial media yang durasi penggunaan per bulannya paling lama yaitu rata-rata sebanyak 30,8 jam per bulan.

Fasilitas whatsapp layanan pengaduan Perwakilan Jawa Timur juga ditautkan pada website perwakilan, sehingga semakin memudahkan masyarakat untuh menguhubungi Perwakilan Jawa Timur. Tampaknya terobosan yang dilakukan oleh Perwakilan Jawa Timur tersebut memang menjawab keinginan masyarakat dan mendapatkan respon yang sangat bagus. Pemilihan waktu peluncuran inovasi Whatsaap Layanan Pengaduan di masa pendemi juga merupakan pilihan yang tepat, mengingat metode tatap muka sudah tidak lagi direkomendasikan. Hal tersebut terbukti dengan banyaknya animo masyarakat yang memanfaatkan layanan Whatsapp Pengaduan, yaitu sebanyak 167 pada Semester II tahun 2020 dan melonjak menjadi 354 pada Semester I tahun 2021. Boleh dibilang, penggunaan whatsapp ini di BPK adalah suatu ‘blue ocean strategy’, yang mana Perwakilan Jawa Timur membuka trend baru dalam membangun pola komunikasi dengan stakeholder, menciptakan ‘pasar’ dan menjadikan hal tersebut sebagai keunggulan kompetitif Perwakilan Jawa Timur. Melihat kesuksesan Perwakilan Jawa Timur, bisa jadi strategi komunikasi tersebut akan menjadi tuntutan stakeholder  pada satker lainnya di BPK.

Inovasi lain yang dilakukan oleh Perwakilan Jawa Timur dalam rangka membangun strategi komunikasi yang baik dengan stakeholder adalah dengan menyusun e-book Profil Perwakilan Jawa Timur. Pada dasarnya e-book profil Perwakilan ini sama dengan profil perwakilan lainnya, yaitu berisi mengenai kinerja dan kegiatan perwakilan selama satu tahun yang diantaranya berisi mengenai profil BPK Perwakilan Jawa Timur, Profil entitas pemeriksaan, kinerja Perwakilan, dan kalaidoskop tahun pelaporan. Yang membuat buku Profil Perwakilan ini menjadi manarik adalah karena dibentuk dalam bentuk e-book. Beberapa bagian dapat ditampilkan dalam bentuk video agar lebih menarik minat masyarakat untuk membaca. Materi yang dibuat video antara lain profil pejabat struktural, wawancara kepala daerah dan profil daerahnya, serta video slide kaleidoskop. Dengan disusun dalam bentuk e-book, jangkauan publikasi atas buku profil Perwakilan ini jauh menjadi lebih luas apabila dibandingkan dengan buku cetak versi manual.  E-book profil Perwakilan tersebut dapat diunduh pada website satker (jatim.bpk.go.id), perpustakaan BPK (perpustakaan.bpk.go.id), dan lain sebagainya. Pegawai pun turut andil pula mensosiaslisasikan e-book profil Perwakilan BPK Jatim lewat media sosial para pegawai. Dalam rangka manajeman perubahan, publikasi yang luas seperti ini sangatlah diperlukan. Setelah kita menyatakan siap dan akan berubah, maka masyarakat luas dan stakeholder lainnya perlu mengetahui komitmen kita untuk berubah tersebut. Publikasi sangat penting dilakukan untuk membangun persepsi dan citra positif atas keberadaan organisasi, serta mensosialisasikan kegiatan dan inovasi yang dilakukan. Semakin banyak masyarakat yang mengenthui kinerja organisasi, hal tersebut akan membangun pula fungsi kontrol atas apa yang telah dilakukan oleh organisasi. Masyakarat dapat memberikan masukan sehingga organisasi dapat secara kontinyu melakukan evaluasi demi meningkatkan responsivitas dalam memberikan layanan.

Dari sisi internal, BPK Jatim juga mengembangkan inovasi berupa aplikasi surat tugas. Mengingat bahwa layanan utama yang dilakukan oleh BPK Jatim adalah layanan pemeriksaan, maka untuk memastikan bahwa pemeriksaan telah dilakukan dengan prinsip-prinsip yang sesuai sesuai dengan nilai dasar BPK, BPK Jatim membuat aplikasi surat tugas yang di dalamnya  memuat informasi mengenai potensi benturan kepentingan atas pegawai yang akan ditugaskan untuk melakukan pemeriksaan di entitas tertentu. Informasi mengenai potensi benturan kepentingan tersebut akan menjadi semacam red flag kepada para pimpinan ketika akan memberikan suatu penugasan pemeriksaan kepada pegawai. Dengan adanya informasi tersebut, prinsip independensi atas pelaksanaan pemeriksaan dapat terjaga. Fitur manarik lainnya dari aplikasi surat tugas yang dikembangkan oleh Perwakilan Jatim adalah aplikasi ini sudah terkoneksi dengan informasi peminjaman asset pada aplikasi pengelolaan BMN. Informasi mengenai aset yang masih dibawa/dipinjam oleh pegawai penting untuk diketahui terutama pada saat penerbitan surat tugas mutasi. Secara otomatis, surat tugas pindah (mutasi) tidak dapat diterbitkan (diblokir) apabila pegawai yang akan ditugaskan masih mempunyai tanggungan aset yang dipinjam. Aplikasi ini telah diterapkan oleh semua unit di Perwakilan Jawa Timur.

Adanya berbagai macam inovasi bukanlah suatu hal yang terjadi begitu saja di Perwakilan Jawa Timur. Budaya berinovasi dalam rangka mencapai tujuan perubahan mulai tumbuh subur sejak Bapak Joko Agus Setiyono menjadi Kepala Perwakilan Jawa Timur di bulan Januari 2020. Untuk membangun budaya berinovasi, di tahun 2020 Joko Agus Setiyono menginisiasi adanya Lomba Ide dan Kreativitas untuk menjaring kreatifitas dan ide inovasi dari para pegawai. Kegiatan yang dilakukan mendapatkan sambutan yang positif dari para pegawai.  Bahkan salah satu pegawai mengirimkan tujuh ide sekaligus pada saat dilakukannya lomba. Kegiatan lomba kreativitas ini memang direncanakan dengan baik sebagai terobosan untuk membangun partisipasi dan menjaring ide, hal tersebut dibuktikan dengan adanya KAK yang terstruktur dan sistematis atas penyelenggaraan kegiatan, serta komitmen untuk menyelenggarakan kegiatan serupa setiap tahunnya. Pada penyelenggaraan lomba ide dan kreativitas yang dilakukan di tahun 2020, terpilih dua ide inovasi dari pegawai yang kemudian akan diimplementasikan. Namun demikian, bukan berarti ide-ide lainnya dibuang begitu saja. Perwakilan Jawa Timur telah mendokumentasikan setiap sumbangan ide untuk dijadikan semacam referensi inovasi yang kemungkinan dapat dikembangkan di kemudian hari.

 

Mengelola Resistensi atas Perubahan ala Joko Agus Setiyono

Setiap perubahan tentu saja berpotensi untuk menimbulkan resistensi. Resistensi tersebut bisa saja tidak selalu dilakukan secara terbuka misalnya dalam bentuk protes atau aksi mogok kerja, namun dapat diwujudkan melalui hal-hal yang implisit dan prosesnya berjalan lama misalnya dari penurunan kedisiplinan pegawai, turunnya semangat dan motivasi kerja, turunnya loyalitas pegawai terhadap organisasi, dan lain sebagainya (Sopiah, 2008)[10]. Wibowo (2018:152) menjelaskan bahwa resistensi dapat terjadi dalam tiga dimensi, yaitu terkait dengan yang bersifat affective (bagaimana seseorang merasa tentang perubahan), behavioral (apa yang dilakukan seseorang dalam menyikapi perubahan), dan cognitive (bagiamana seseorang berpikir tentang perubahan). Walaupun perubahan sesungguhnya adalah keniscayaan, namun organisasi perlu untuk mengelola resistensi atas perubahan sehingga tidak membawa dampak negatif bagi organisasi itu sendiri.

Banyak hal yang dapat menimbulkan resistensi akan perubahan. Sweeney and McFarlin (2002) dalam Sudarsyah (2012)[11] menyatakan bahwa resistensi individu akan adanya perubahan umumnya terjadi karena adanya ketakutan akan ketidakpastian, ancaman dari sisi ekonomi, serta selektivitas persepsi ataupun kebiasaan. Hal tersebut sangatlah natural, sehingga memang menjadi tantangan tersendiri bagi suatu organisasi untuk mengelola resistensi tersebut menjadi sebuah motivasi. Untuk itu, dalam merencanakan perubahan, seorang pimpinan perlu melakukan serangkaian strategi pendekatan .

Selaras dengan penjelasan Sweeney dan McFarlin (2002), Weiner (2009) dalam Sudarsyah (2012) menjelaskan bahwa perilaku resistensi individu dalam menyikapi perubahan  setidaknya dipengaruhi oleh dua hal, yaitu change valance dan change efficacy. Change valace dapat diartikan sebagai suatu persepsi mengenai apa yang akan didapat dari adanya suatu perubahan tersebut (What’s in it form me?), sedangkan change efficacy terkait dengan pertimbangan  atas kemampuan pribadi dan organisasi dalam menghadapi perubahan itu sendiri (can I (we) do it?).  Selanjutnya Weiner (2009) juga menjelaskan bahwa terdapat terdapat faktor-faktor yang membantu organisasi untuk lebih siap dalam menghadapi perubahan yaitu 1) tuntutan tugas; 2) ketersediaan sumber daya; 3) faktor situasional.

Belajar dari kepemimpinan Bapak Joko Agus Setiyono, banyak hal yang dapat dicontoh dalam caranya membangun iklim inovasi dan mengelola resistensi atas perubahan di Perwakilan Jawa Timur.

Hal baik utama yang dapat diteladani dari Joko Agus Setiyono adalah Bapak Joko Agus Setiyono berhasil menggiring mindset pegawai untuk mulai berorientasi kepada pelayanan. Disamping mempunyai budaya kerja yang diberi tagline BPK JATIM (do the Best, disciPline, worK smart, enJoy, teAmwork, respecT, never gIve up, stay huMble), timbul suatu konsesus bersama bahwa Perwakilan Jatim perlu membuat slogan pelayanan yang diberi jargon MANTAP (Melayani dengan prima, Akurat, Nyaman, Transparan, Adil, Paripurna). Pembentukan slogan tersebut melibatkan seluruh unit eselon III di lingkungan Perwakilan Jawa Tiur. Setiap usulan dari unit Eselon III kemudian didiskusikan untuk menjadi sebuah simpulan dan dimintakan tanggapan kepada seluruh pegawai.

Secara teori, cara menyusun dan mengembangkan budaya kerja dapat dilakukan organisasi dengan berbagai cara. Bisa saja budaya kerja lahir dari inisiatif para pimpinan semata. Cara pengembangan budaya kerja tersebut memiliki kelebihan bahwa waktu yang diperlukan untuk mencapai kesepakatan atas nilai-nilai yang ingin dikembangkan relatif lebih singkat. Namun demikian, biasanya rasa memiliki atas nilai yang ditetapkan akan terbangun lebih lambat dan lebih berpotensi untuk memunculkan resistensi yang lebih besar. Cara penyusunan budaya kerja seperti itu umumnya tepat untuk organisasi yang baru saja dibentuk atupaun organisasi yang sifatnya semantara. Adapun cara yang dilakukan oleh Perwakilan Jawa Timur dengan melibatkan seluruh unit  mempunyai kelemahan bahwa waktu yang diperlukan untuk mencapai sebuah konsensus atas nilai-nilai yang akan dikembangkan menjadi relatif lebih lama. Namun demikian, metode tersebut paling efektif untuk menumbuhkan rasa memiliki atas nilai-nilai yang akan dibangun. Selain itu, resistensi cenderung lebih kecil karena semua orang merasa menjadi bagian dari perubahan yang akan dituju oleh organisasi.

Setelah dirumuskan menjadi suatu jargon, tahapan penting selanjutnya adalah proses sosialisasi dan internalisasi jargon budaya kerja BPK JATIM dan slogan pelayanan MANTAP kepada seluruh pegawai, mulai dari para pimpinan, staf, hingga petugas cleaning service dan OB. Kampanye jargon budaya kerja BPK JATIM dan slogan layanan ‘MANTAP’ gencar dilakukan oleh Perwakilan Jawa Timur. Lihat saja, di seluruh kegiatan yang diselenggarakan oleh Perwakilan Jatim, pada seluruh bahan paparan, di website perwakilan, kita bisa melihat adanya jargon BPK JATIM MANTAP tersebut terpampang di mana-mana.

Dalam manajeman perubahan, tahapan membangun mindset inilah sebenarnya yang paling krusial. Mindset merupakan keadaan pikiran yang mempengaruhi cara seseorang berpikir, merasa, dan bertindak dalam segala situasi. Tidak mudah membangun mindset. Mindset biasanya terbentuk dalam proses yang relatif lama. Terdapat beberapa faktor yang membentuk mindset seseorang, antara lain blind spot, assumption, complacency, habits, dan attitude. Blind spot (noda gelap) adalah sesuatu yang berada di hadapan seseorang namun tidak dapat dilihat dengan jelas dan baik oleh orang tersebut.  Assumption (asumsi) adalah pandangan yang dilihat sebagai suatu kebenaran, walaupun hal tersebut belum pasti benar. Complacency (puas dengan dirinya sendiri) adalah perasaan aman yang dirasakan seseorang atas dirinya, tidak perlu khawatir atas situasi yang dihadapinya. Habits (kebiasaan) terkait dengan tindakan seseorang yang dilakukan secara berulang, tanpa memerlukan lagi waktu untuk berpikir, sedangkan attitude (sikap) adalah persepsi yang dimiliki seseorang yang mana hal tersebut memengaruhi cara orang tersebut berperilaku. Untuk itu, apabila ingin mengubah mindset, maka diperlukan upaya untuk menghilangkan blind spot, melawan asumsi yang tidak/kurang benar, mengurangi perasaan cepat puas pada diri sendiri, mematahkan kebiasaan yang tidak produktif, dan selalu menanamkan sikap positif (Tan dalam Wibowo, 2018:509-512). Keberhasilan dalam membangun mindset menentukan kesuksesan dari upaya perubahan yang dilakukan. Merujuk pada proses pembangunan mindset di Perwakilan Jatim, ketika pada diri pegawai telah terbentuk mindset bahwa memberikan layanan prima kepada masyarakat adalah tujuan dari organisasi, maka setiap individu dalam organisasi mungkin lebih menghargai perubahan dan bersedia terlibat di dalamnya karena merasa hal tersebut merupakan bagian dari tugas, bahwa inovasi-inovasi yang dilakukan memang menjawab hal-hal yang dibutuhkan masyakarat atas keberadaan suatu organisasi tersebut, dan menjadi tugas dari organisasi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Lebih lanjut, jika pola pikir (mindset) sudah terbentuk maka mindset tersebut akan berfungsi untuk membantu pembentukan etos kerja individu dalam organisasi serta membantu individu dalam organisasi untuk memberikan kontribusi pada pencapaian tujuan organisasi (Peraturan Menteri PAN dan RB Nomor 39 Tahun 2012 tentang Pedoman Pengembangan Budaya Kerja).

Keberhasilan membentuk mindset juga menjadi suatu faktor penting dalam rangka meyakinkan pegawai atas tuntutan change valence. Heidjrachman dan Husnan (2002)[12] mengungkapkan bahwa kepuasan kerja pegawai tidak semata dipengaruhi oleh banyaknya pendapatan yang diterima. Faktor psikologis dapat pula mempengaruhi kepuasan kerja antara lain penghargaan atas pekerjaan, pekerjaan yang berarti, kesempatan untuk maju, dan organisasi atau tempat kerja yang dihargai oleh masyarakat. Dengan terbentuknya mindset bahwa perubahan yang dilakukan tersebut memang sudah menjadi kebutuhan, maka pertanyaan atas “apa yang akan saya dapatkan dari adanya perubahan tersebut”, dapat dijawab dengan faktor-faktor psikologis tersebut. Hal ini tentu saja merupakan modal penting bagi seorang pemimpin transformational untuk meyakinkan seluruh anggota organisasi untuk ikut berubah.

Terkait dengan change efficacy,  change efficacy dalam hal ini dapat bersifat individu maupun komunal, bahwa bagaiamana saya (sebagai pribadi dan sebagai suatu organisasi) dapat melakukan perubahan tersebut. Menjawab pertanyaan tersebut, Joko Agus Setiyono menjelaskan bahwa dirinya menyadari bahwa inovasi-inovasi yang dilakukan tentu saja akan membutuhkan sumber daya yang cukup besar, setidaknya dalam hal waktu, tenaga, dan pikiran. Disadari bahwa inovasi yang dilakukanpun belum tentu berhasil.  Namun demikian, Joko Agus Setiyono menjelaskan bahwa proses lahirnya berbagai inovasi tersebut dipilih melalui suatu proses evaluasi dan diskusi yang matang antara para pejabat dan pegawai. Pada dasarnya, tidak ada inovasi yang tidak bagus. Namun, memang disadari bahwa ada proses seleksi untuk memetakan implementasi, risiko kegagalan, maupun sumber daya yang akan dikonsumsi. Dengan demikian, secara organisasi, dirinya yakin bahwa organiasi cukup mampu untuk mengeksekusi inovasi. Dari sisi individu pegawai, Joko Agus Setiyono juga menyadari bahwa kebanyakan pagawai enggan melemparkan ide inovasi karena takut terbebani untuk mendapatkan tanggungjawab menyelenggarakan inovasi yang diusulkannya. Itulah yang dihindari. Pegawai dilibatkan dalam membangun inovasi, namun sejatinya implementasi perubahan tersebut akan menjadi tanggungjawab komunal yang melekat pada pelaksanaan tugas dan fungsi masing-masing bagian di organisasi tersebut. Jadi, Joko Agus Setiyono meyakinkan bahwa tidak ada beban tanggung jawab yang lebih besar yang harus diemban oleh salah satu atau beberapa pegawai dengan adanya inovasi ataupun perubahan tersebut. Ini adalah tanggungjawab komunal, dan dirinyalah sebagai pimpinan organisasi yang bertanggungjawab atas perubahan yang terjadi.

Cara-cara yang dilakukan oleh Joko Agus Setiyono tersebut merupakan bentuk suatu pemberdayaan yang menjadi ciri khas pemimpin transformasional. Untuk memberdayakan seluruh peagwai, Joko Agus Setiyono menerapkan prinsip-prinsip manajeman partisipatif. Manajeman partisipatif merupakan metode mengelola sumber daya manusia yang mana pekerja dihormati dan kontribusinya dihargai serta dimanfaatkan. Dalam manajeman pertisipatif, manajeman yakin bahwa setiap anggota organisasi dapat mengembangkan potensinya alih-alih hanya sekedar melakukan tugas rutinnya saja. Pendekatan tersebut tercermin dalam perilaku manajeman yang memberikan kesempataan kepada anggotanya untuk berbagi informasi, menyelesaikan masalah, membuat keputusan, merencanakan proyek, dan mengevaluasi hasil (Conner dalam Wibowo, 2018:66). Seperti yang dilakukan oleh Joko Agus Setiyono, dalam manajeman partisipatif, manajemen tidak lepas tanggung jawab atas keputusan yang telah dilakukan. Keterlibatan anggota dalam hal ini bukan merupakan bentuk pelepasan prinsip manajeman kontrol, namun merupakan bagian dari manajeman kontrol itu sendiri.

Terkait dengan tantangan change efficacy,  penerapan manajeman partisipatif seperti yang dilakukan oleh  Joko Agus Setiyono berperan penting untuk mengatasi keterbatasan sumber daya yang ada. Dengan adanya partisipasi dari para anggota organisasi, maka manajamen akan lebih mudah mengoptimalkan potensi yang dimiliki oleh para anggota organisasi tersebut. Umumnya, hal-hal yang diinisiasi oleh anggota akan mendorong adanya rasa memiliki yang lebih besar dari setiap anggota organiasai tersebut. Dengan demikian, mereka akan lebih menghargai setiap proses yang dilakukan dan berupaya optimal memberikan kontribusi demi mencapai tujuan yang sudah disepakati tersebut.

Ide untuk membangun partisipasi pegawai melalui Lomba Ide dan Kreativitas yang dilakukan oleh Perwakilan Jawa Timur juga merupakan salah satu terobosan dalam mencari solusi terkait masih adanya hambatan komunikasi antara manajeman dan anggota organisasi. Dalam proses perubahan, komunikasi yang efektif antara seluruh unsur organisasi akan dapat mengurangi resistensi, bahkan dapat dikatakan bahwa komunikasi adalah salah satu fokus inti dari manajeman perubahan. Komunikasi sangat krusial untuk mengembangkan kesiapan dan antusiasme perubahan, untuk memodifikasi cara orang berpikir dan berperilaku, dan memastikan bahwa perubahan dapat diimplementasikan. Komunikasi yang baik akan membuat bawahan merasa bahwa apa yang dilakukannya sudah benar. Dengan demikian, meraka secara mandiri akan memastikan bahwa tindakan dan perilaku mereka konsisten dengan cita-cita perubahan yang ingin dituju (Wibowo, 2018).

Pada kenyataannya masalah komunikasi masih merupakan PR besar dalam pengelolaan organisasi di BPK.  Pada satu sesi di Workshop Upaya Peningkatan dan Pengembangan Budaya Kerja di Lingkungan BPK pada tanggal 29 Juli 2021 yang lalu, moderator menyampaikan pooling yang diikuti oleh seluruh peserta workshop (saat itu ada kurang lebih 900 peserta) mengenai situasi kerja yang saat ini dirasakan oleh peserta. Ada hal yang menarik untuk dicermati terkait jawaban atas pooling tersebut, yaitu pada pertanyaan ketiga dan keempat.

Pada pertanyaan ketiga, peserta harus memberikan sikap atas pernyataan “Kadang-kadang saya ingin menyampaikan ide-ide saya untuk unit kerja saya, namun demikian, saya tidak tahu harus ke mana dan bagaimana menyampaikannya”. Atas pooling tersebut sebanyak 73% menjawab Ya, 23% menjawab Tidak, dan sisanya menjawab Tidak tahu. Pernyataan selanjutnya yang perlu ditanggapi oleh peserta pada pooling tersebut adalah “Saya merasa pimpinan di unit kerja saya telah mendorong terciptanya suasana kerja yang kondisuf dan sanantiasa memberikan teladan yang baik”. Atas pernyataan tersebut sebanyak 44% menjawab Ya, 38% menjawab Tidak, dan sisanya menjawab Tidak tahu.

Hal yang yang menarik dari jawaban atas pooling tersebut adalah bahwa sebagian besar peserta menyatakan bahwa pimpinan di unit kerjanya telah mendorong terciptanya suasana kerja yang kondusif dan senantiasa memberikan teladan yang baik. Namun demikian, hal tersebut bertolak belakang bahwa sebanyak 73% menjawab bahwa meraka tidak tahu harus ke mana dan bagaimana menyampaikan ide-ide untuk pengembangan unit kerjanya. Dari paradoks tersebut dapat diindikasikan bahwa masih terdapat hambatan komunikasi antara pemimpin dan bawahan pada unit kerja di lingkungan BPK. Pegawai, mungkin memang menilai pemimpinnya sudah menjadi teladan yang bagus, namun hal tersebut mungkin masih dalam konteks ‘segan’ atau sekedar sebagai bentuk rasa hormat.  Belum terjadi ikatan kedekatan antara pemimpin dan pegawai, sehingga pegawai merasa segan atau belum nyaman untuk menyampaikan ide-ide yang dimiliki.

Ide untuk menyelenggarakan Lomba Ide dan Kreativitas di Perwakilan Jawa Timur bisa menjadi contoh yang bagus bagaimana manjaring ide segar dari pegawai di tengah lingkungan yang di dalamnya masih terdapat hambatan komunikasi. Salah seorang peserta Lomba Ide dan Kreativitas di Perwakilan Jawa Timur menyatakan, sejauh pengalamannya berada di BPK, dirinya belum menemukan sarana yang tepat untuk menyampaikan ide/gagasan kepada para pengambil keputusan di lingkungan kerjanya. Dengan adanya lomba ide dan kreativitas yang dilakukan oleh Perwakilan Jatim, dirinya merasa kegiatan tersebut adalah kesempatan yang sangat bagus untuk menyalurkan ide-ide yang selama ini hanya disimpannya saja. Tak tanggung-tanggung, saat itu sekaligus dirinya menyampaikan tujuh ide inovasi sekaligus, namun sayangnya dari ketujuh ide inovasi tersebut tidak ada satupun yang menang. Atas kegagalan tersebut, dirinya menyatakan bahwa hal tersebut bukanlah suatu masalah, karena pada dasarnya, tujuan pegawai mengikuti lomba tersebut bukanlah sekedar memang, namun kesempatan untuk bisa menyuarakan mimpi itulah yang terpenting.

Hal lain yang tak kalah penting dari apa yang diterapkan oleh Joko Agus Setiyono adalah bagaimana dirinya memberikan penghargaan kepada setiap pegawai atas ide-ide yang disampaikan. Peserta Lomba Ide Kreativitas yang lain menyatakan, dirinya tidak merasa patah semangat ketika tidak menang dalam lomba yang diselenggarakan. Malahan, hal tersebut semakin memotivasi dirinya untuk kembali menuangkan ide-ide segar guna perbaikan organisasi. Adanya semangat tersebut tak lepas dari pernyataan Joko Agus Setiyono yang meyakinkan seluruh pegawai bahwa tidak ada ide inovasi yang buruk. Dalam hal ini, beliau menyampaikan bahwa seluruh ide yang masuk dalam perlombaan tersebut akan dibukukan dan didokumentasikan sebagai direktori inovasi yang dapat menjadi rujukan pengembangan inovasi ke depannya. Jadi, ini bukan masalah menang dan kalah, namun hanyalah masalah waktu yang tepat untuk mengeksekusi ide inovasi tersebut. Betapa hal tersebut sungguh suatu penghargaan bagi seluruh pegawai.

Merangkum dari hal-hal yang telah dilakukan oleh Joko Agus Setiyono, pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa Joko Agus Setiyono telah menerapkan gaya kepemimpinan transfromasional, sekaligus dapat menjadi role model dan agen perubahan di Perwakilan Jawa Timur. Saefullah dan Rusdiana (2016) menjelaskan terdapat beberapa karakteristik utama dari seorang agen perubahan, yaitu :

1.       Seorang agen perubahan memiliki pemikiran dan ide kreatif, bersemangat, dan berani. Dalam hal ini ciri tersebut ditunjukkan Joko Agus Setiyono dengan caranya mendorong keterlibatan pegawai untuk berinovasi melalui Lomba Ide dan Kreativitas, serta berani menanggung risiko untuk mengimplementasikan ide inovasi dari pegawai;

2.       Pendorong dan pengajur timbulnya perubahan, yaitu mampu melihat bahwa organisasi memerlukan perubahan. Dalam hal ini ciri tersebut ditunjukkan Agus Joko Setiyono dalam upayanya membangun mindset untuk berorientasi kepada pelayanan piblik, tidak lagi sekedar berorientasi ke dalam (inward looking). Adanya perubahan mindset tersebut terjadi karena adanya kesadaran mengenai alasan kebedaraan ASN dan lembaga pemerintah, bahwa ASN dan lembaga pemerintah harus memberikan pelayanan terbaik kepada masyakarat;

3.       Menginginkan melihat organisasinya, masyarakat dan institusi berkembang maju, memiliki loyalitas yang tinggi, dan komitmen yang kuat. Dalam hal ini ciri tersebut ditunjukkan Agus Joko Setiyono untuk mendorong adanya inovasi-inovasi yang berorientasi pada pelayanan publik.

4.       Pendai berorganisasi, cerdik dalam berpolitik, memahami sistem kekuasaan serta batas-batas perubahan yang ingin dilakukan. Dalam hal ini ciri tersbeut ditunjukkan dengan konsep manajeman partisipatif dan pemberdayaan yang dilakukan oleh Joko Agus Setiyono, yang mana dirinya melibatkan pegawai daam keputusan-keputusan penting organisasi tanpa melimpahkan beban tanggung jawab utama kepada para pegawai.

5.       Dapat menjadi anggota dan pemain tim yang efektif serta mudah dan senang berkawan. Dalam hal ini ciri tersebut ditunjukkan Joko Agus Setiyono dalam sikapnya yang senantiasa memberikan penghargaan kepada para pegawai, yang mana hal tersebut menjadikan sosoknya sangat disegani oleh para pegawai di Perwakilan Jawa Timur.

 

Tantangan Ke Depan

Apa yang dilakukan oleh Perwakilan Jawa Timur merupakan suatu capaian yang perlu diapresiasi. Namun untuk mencapai tujuan organisasi sesuai yang diharapkan terdapat berbagai tantangan yang harus diantisipasi ke depannya.

Pertama, menghindari perasaan puas yang terlalu dini. Ketika inovasi telah berjalan pada akhirnya setiap individu akan merasa bahwa kegiatan yang dilakukan sudah menjadi rutinitas sehari-hari. Para pekerja akan kembali ke zona nyaman, dan akhirnya bisa saja kembali cenderung defensive apabila terjadi perubahan yang baru. Inovasi dianggap selesai, hingga akhirnya situasi berbalik menciptakan suatu Discontinous Change. Untuk itu, sangat penting bagi manajeman untuk selalu menjaga momentum perubahan. Manajeman perlu untuk selalu melakukan evaluasi, guna melihat perkembangan lingkungan strategis, harapan stakeholder, serta kemampuan internal. Manajeman perlu menyusun sebuah peta besar perubahan, sehingga selalu tercipta continuous imperemental change, yaitu serangkaian perbaikan kecil dengan frekuensi yang lebih sering (Wibowo, 2018).

Kedua, mengukur dampak inovasi dan perubahan. Pengukuran dampak inovasi dan perubahan bukanlah suatu hal yang mudah. Manajeman perlu merumuskan indikator-indikator keberhasilan sebagai acuan penilaian kinerja atas kegiatan yang telah dilakukan, baik dalam jangka pendek (output), jangka menengah (objective), dan jangka panjang (goal).  Pada kegiatan inovasi yang dilakukan oleh Perwakilan Jawa Timur yang mana tujuannya adalah untuk memberikan layanan publik yang lebih baik kepada masyakarat, salah satu metode untuk mengukur dampak dari kegiatan yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan survei secara berkala untuk melihat trend kepuasan masyarakat atas kinerja layanan. Survei tersebut penting dilakukan untuk mengetahui apakah inovasi telah sesuai dengan ekspektasi masyarakat dan meningkatkan kepuasan masyarakat atas kinerja organisasi. Survei juga perlu dilakukan untuk menjaring aspirasi masyarakat terkait apa saja yang masih menjadi keluhan, apa yang dibutuhkan, dan apa yang diinginkan masyarakat atas kinerja organisasi. Dengan masukan-masukan tersebut, inovasi dapat terus dikembangkan, bukan saja hanya untuk memecahkan masalah (problem solving) tapi untuk menjawab keinginan bahkan menciptakan keinginan masyakarat (create need).

Ketiga, menginternalisasikan nilai. Sosok Joko Agus Setiyono sangat melekat dengan Perwakilan Jawa Timur saat ini. Melihat berbagai komentar positif dari para pegawai di Perwakilan Jawa Timur atas sosok Joko Agus Setiyono, menunjukkan bahwa kepemimpinan yang saat ini beliau terapkan dapat diterima dengan baik oleh seluruh pegawai di Perwakilan Jawa Timur. Namun demikian, tidak ada yang dapat memastikan berapa lama Bapak Joko Agus Setiyono dapat tetap memimpin Perwakilan Jawa Timur mengingat mutasi dapat terjadi kapan saja. Untuk itu, sangat penting bagi Bapak Joko Agus Setiyono dan seluruh manajeman pada Perwakilan Jawa Timur untuk selalu menginternalisasikan nilai budaya kerja serta tujuan perubahan kepada seluruh pegawai, sehingga apabila nanti terdapat pergantian pimpinan, hal-hal baik yang sudah dibangun tidak luntur begitu saja.

 

BRAVO PERWAKILAN JAWA TIMUR.



[1] Saefullah, Asep dan Rusdiana, Ahmad. 2016. Manajeman Perubahan. Bandung : Pustaka Setia

[2] Beer, Michael. 2002. Breaking the Code of Change. USA : President and Felow Harvard College

[3] Wibowo. 2018. Manajeman Perubahan. Depok : Rajawali Pers

[4] Arijanto, Agus, dkk. 2018. Manajeman Perubahan : Pemahaman dan Implementasi Manajeman Perubahan Bagi Akademisi dan Pelaku Bisnis. Bogor : Halaman Moeka Publishing

[5] Winardi. 2005. Manajeman Perubahan (The Management of Change) Edisi I Cetakan Kedua. Jakarta : Prenada Media Group

 

[6] Juhro, M Solhin, dkk. 2020. Transformational Leadership, Gaya Kepemimpinan Masa Depan. Transformational Leadership : Konsep, Pendekatan, dan Implikasi pada Pembangunan. Jakarta : BI Institute

[7] Hairudinor, dkk. 2020. Pengaruh Gaya Kepemimpinan Transformasional dan Budaya Organiasasi terhadap Kinerja Karyawan. Jurnal Administrasi Bisnis Vol 10 No.1. 2020

[8] Juhro, M Solikin, dkk. 2020 .”Transformational Leader, Game Charger untuk Mendorong Inovasi”.  Transformational Leadership  Konsep, Pendekatan, dan Implikasi pada Pembangunan. Jakarta : BI Institute : 195.

[10] Sopiah. 2008. Perilaku Organisasional, Yogyakarta : Penerbit Andi

[11] Sudarsyah. Asep. 2012. Mengelola Perubahan Organisasi (Sebuah Perspektif Perilaku), Jurnal Administrasi Pendidikan Vol. XIV No 1 April 2012.

[12] Heidjrachman dan Husnan, Suad. 2002, Manajeman Personalia. Yogyakarta : BPFE


(tulisan dibuang sayang--udah nulis banyak2 ternyata kepanjangan--)

Komentar