Melanjutkan membaca buku
Millennialis Kill Everyting (Yuswohady, dkk-2020), satu hal menarik yang
dibahas dalam buku ini adalah pandangan millennial terhadap pakaian kerja.
Kaum milenial adalah trend setter untuk urusan outfit di tempat kerja. Kamu milenial
sangat menekankan kenyamanan, kepraktisan, dan flesibilitas di berbagai kesempatan,
pun untuk pakaian kerja. Outfit becomes the extension of millenial’s
personality. Itulah mengapa, penggunaan pakaian seragam kerja yang sangat
formal, apalagi harus seragam, tidak lagi menjadi pilihan. Kaum milenial perlu
mengekspresikan dirinya, termasuk di tempat kerja. Karena di tempat kerja
itulah sebagian besar waktu dan energi millenial terserap di dalamnya. Untuk itu, bagi kaum milenial, tempat kerja
harusnya bukan lagi sekedar working
environtment tapi juga playing
environtment bahkan living
environtment. Work-life balance,
begitulah yang diinginakn. “Work, Play,
Live”
Berbicara tentang pakaian kerja,
di tempat kerja saya saat ini memberlakukan ketentuan mengenai seragam kerja. Seragam
kerja tersebut hanya dipakai dua kali seminggu, Senin dan Rabu. Bahkan di masa
pendemi, walaupun bekerja secara WFH, apabila ada pertemuan secara daring,
seragam kerja itupun tetap dianjurkan untuk digunakan.
Kebetulan saya tergabung dalam satuan pengawas internal organisasi. Dulu waktu cara kerja kami masih banyak menerapkan pola ‘watch dog’, beberapa kali saya ikut dalam sidak yang salah satu fokus inspeksinya adalah ketaatan pegawai dalam menggunakan pakaian seragam. Biasanya kegiatan seperti ini kami lakukan pada saat ada upacara-upacara hari besar, yang mana memang mengharuskan pegawai untuk menggunakan seragam kerja sesuai dengan ketentuan. Seragam kerja kami sebenarnya cukup simple. Secara umum,ketentuan penggunaan seragam kami yaitu : (1) baju putih dengan logo organisasi; (2) Celana/rok panjang warna abu-abu; (3) Sepatu formal warna gelap (bukan hanya hitam, tapi apapun boleh asal warnanya gelap); (4) Jilbab abu-abu untuk yang berjilbab (bukan jilbab kaos); dan (5) Untuk laki-laki baju dimasukkan ke dalam celana dan menggunakan ikat pinggang.
Seragam kerja kami memang simple.
Baju dan celananya juga gratis. Setiap tahun kantor selalu membagikan seragam
tersebut dengan cuma-cuma. Paling tidak,
selama saya bekerja di sini, saya sudah tiga kali mendapatkan seragam kerja
dari kantor. Dengan jumlah pegawai yang lebih dari 7000 orang, bisa dibayangkan
berapa banyak anggaran dihabiskan untuk pengadaaan baju seragam tersebut.
Balik lagi ke cerita sidak tadi. Sidak dilakukan saat upacara. Ini upacara lho,,seluruh pegawai jelas tau ketentuannya. Tapi herannya,,pada sidak yang kami lakukan, masih saja ditemukan pegawai yang tidak menggunakan pakaian seragam sesuai ketentuan, misalnya :
- Baju yang dikenakan bukan seragam yang diberikan oleh kantor. Ada yang bajunya putih polos saja tanpa logo, ada yang bajunya sudah dimodif misalnya jadi bentuknya slim fit, celana/rok yang digunakan warnanya beda, rok dibuat model lipit, macam-macam lah. Kalau ditanya mengapa, alasannya kebanyakan baju pembagian dari kantor sudah kekecilan/ukurannya tidak sesuai, atau ada juga yang menyatakan kalau bahan baju pembagian dari kantor tidak nyaman dipakai
- Sepatu yang digunakan bukan sepatu formal dan/ atau warnanya tidak gelap. Alasannya sepatu formalnya ketinggalan, karena harus naik kereta/motor, karena habis olahraga, dan lain sebagainya;
- Untuk yang berjilbab, jilbabnya tidak berwana abu-abu. Alasannya,,hehehe,,kalau yang ini biasanya mereka tidak punya alasan yang pasti. Kalau masalah ini, biasanya mereka sudah pasrah saja.
- Untuk yang laki-laki, bajunya tidak dimasukkan. Mereka bilang tidak nyaman kalau bajunya dimasukkan, atau karena lupa tidak membawa ikat pinggang.
Bukannya tidak peka dengan
masalah-masalah tersebut, top manajeman kantor saya sebenarnya cukup peka
mengenai keluhan pegawai atas berbagai ketidaknyamanan menggunakan seragam
tersebut. Dulu, seragam kerja memang diberikan berdasarkan size yang berlaku umum
(S,M.L,XL). Pegawai memilih ingin memesan size apa, tanpa tau kondisi riil dari
ukuran yang ditawarkan tersebut sehingga ukuran size yang diterima pegawai
banyak yang tidak sesuai ekspektasi pegawai. Memperhatikan masalah tersebut,
teknis pemilihan size seragampun diperbaiki. Sebelum memilih sizenya, setiap
pegawai diberikan kesempatan untuk mencoba dulu berbagai size yang tersedia,
baik baju maupun rok/celana. Jadi, pegawai bisa memesan baju dengan size actual
yang diinginkannya.
Demikian pula masalah jilbab. Dulu,sebelum
diberlakukan jilbab warna abu-abu, jilbab yang harus dikenakan adalah jilbab
berwara putih. Tapi, mengingat banyak sekali varian warna putih yang ada, agak
susah untuk memilih warna jilbab putih yang senada dengan warna baju. Akhirnya
malah kebanyakan tidak matching
antara baju dan jilbabnya. Mendegar keluhan tersebut, akhirnya warna jilbabpun
berubah. Dari yang putih, jadi abu-abu.
Amanlah. Segala macam abu-abu pasti akan matching
dengan apapun warna putihnya.
Tapi pada akhirnya setelah
beberapa tahun kebijakan penggunaan seragam ini diberlakukan, masih banyak resistensi atas penggunaan seragam tersebut.
Mengapa, menurut saya setidaknya ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan.
Pertama, kebijakan penggunaan
seragam ini seolah-olah menjadi kebijakan top down. Dalam mengelola kebijakan
tersebut, seharusnya sosialisasi atas urgensi penggunaan seragam gencar
dilakukan.. Manajeman perlu meyakinkan para pegawai mengenai urgensi penggunaan
seragam tersebut sehingga harapannya akan timbul kerelaan dari diri pegawai
untuk menggunakan seragam. Namun sayangnya, sepertinya sosialisasi tersebut
jarang dilakukan. Kalau tidak salah ingat, sepertinya malahan saya belum pernah
tersosialisasikan mengenai urgensi penggunaan seragam ini. Kalau sosialiasi
mengenai ketentuan penggunaan seragam sih sudah sering, tapi dialog mengenai
urgensi penggunaan seragam sepertinya hampir tidak pernah dilakukan;
Kedua, penerapan penggunaan
seragam ini tidak dibarengi dengan adanya law
enforcement yang nyata. Setau saya, malahan tidak sama sekali tindakan
pengenaan hukuman disiplin atas pelanggaran ketentuan penggunaan seragam.
Ketiga, nyatanya pelanggaran atas
ketentuan penggunaan seragam ini tidak melulu dilakukan oleh staf pegawai.
Masih ditemui beberapa pejabat yang tidak menggunakan seragam sesuai ketentuan,
misalnya bajunya tidak dimasukkan, sepatunya bukan sepatu formal,atau jilbabnya bukan jilbab abu-abu. Kalau pemimpin
yang seharusnya menjadi role model
saja masih enggan menggunakan seragam sesuai ketentuan,,ya sudah😐
Tapi pada akhirnya, balik lagi
pada pembahasan mengenai preferensi milenial atas pekaian kerja, Mengapa
resistensi atas penggunaan seragam masih besar? Ya karena penggunaan seragam
memang dirasa tidak millennial friendly.
Gak gw bangett!!
.
Komentar
Posting Komentar