Millenialls Kill Everything #1 : Preferensi Komunikasi

Bukunya udah lama dibaca, tapi ketika saya sedang tertarik dengan segala sesuatu terkait pengembangan kapasitas organiasasi, sepertinya buku ini bisa banyak memberikan inspirasi


Judul :  Millenials Kill Everything, 

Penulis : Yoswohady, dkk, Cetakan keempat Tahun 2000

Penerbit :PT Gramedia (Jakarta)


Dalam rangka membangun reformasi birokrasi dan Pembangunan Zona Integritas, suatu organisasi publik dituntut untuk memberikan layanan yang terbaik kepada masyarakat. Untuk itu, organisasi perlu membangun channel-channel komunikasi yang baik sehingga mamudahkan masyarakat untuk dapat berkomunikasi dan mangakses layanan dari organiasai tersebut.

Dari buku yang saya referensikan tadi, saya dapat menarik beberapa hal yang menarik terkait preferensi milenial terkait dengan cara komunikasi yang diinginkan. Generasi milenial sendiri adalah kelompok generasi setelah generasi X, yang biasanya diidentikkan dengan golongan penduduk yang lahir di tahun 1980an sampai awal 2000an (https://id.wikipedia.org/wiki/Milenial - diaskes tanggal 19 Agustus 2021). Mengapa  preferensi generasi milenilai ini penting, karena memang golongan penduduk itulah yang saat ini merupakan potensial konsumen dari berbagai layanan publik yang diselenggaran, dan mengingat rata-rata umur generasi milenial tersebut masih berkisar 30-40 tahunan, saya kira dalam 10-20 tahun ke depan, merekalah yang akan tetap mendominasi akses atas layanan publik.

Beberapa hal menarik yang diulas dari buku ini terkait dengan preferensi milenial sebagai berikut.

  1. Milenial adalah generasi hypervalue oriented customer, artinya mereka selalu mengingkan benefit yang sebesar-besarnya dengan cost yang sekecil-kecilnya. Inilah mengapa SMS dan telepon mulai tersingkir, dibandingkan dengan WA/line yang jauh lebih murah tapi dengan fitur yang lebih lengkap.
  2. Smartphone kills everything. Smartphone sudah menjadi bagian dari hidup milenial. Smartphone juga yang membunuh berbagai produk lain yang fungsinya digantikan oleh fitur-fitur dalam smartphone, misalnya kalender, kalkulator, senter, notes, tiket pesawat, MP3 player. voice recorder, dan lain sebagainya; 
  3. Milenial ingin membina hubungan yang lebih dalam dengan suatu brand, bisa berkontribusi, dan mempunyai hubungan yang bersifat lebih personal. Itulah mengapa sekarang iklan konvensional sudah ditinggalkan karena sifatnya yang hanya satu arah. Dalam mencari referensi atas suatu produk tertentu, milenial lebih percaya dengan yang direkomendasikan oleh peers (baik secara langsung ataupun melalui media sosial) yang biasanya lebih interaktif, personal, dan jujur dalam memberikan masukan; serta
  4. Milenials prefer texting more than face to face conversation. Bagi milenials, komunikasi via texting lebih banyak memberikan keunggulan. Texting lebih praktis, menghemat waktu, dan bisa dilakukan sambil mengerjakan banyak pekerjaan yang lain.  Texting bisa dilakukan kapan saja dan di mana saja. Texting juga memberikan kesempatan lebih banyak untuk memikirkan terlebih dahulu apa yang ingin diucapkan, tanpa direpotkan dengan tuntutan gestur, intonasi, dan ekspresi yang tepat.  Texting juga memberikan kesempatan untuk melakukan percakapan dengan banyak orang sekaligus secara personal. 

Mempertimbangkan keempat preferensi milenials dalam caranya membangun komunikasi tersebut, menurut saya, hendaknya organisasi perlu mempunyai channel-channel komunikasi yang setidaknya memenuhi kriteria seperti yang disukai milenial, yaitu murah, bisa diakses dengan smart phone, user friendly, interaktif, dan memungkinkan untuk berkomunikasi dengan cara texting.

Jadi, apa best practice nya?

Sejauh pengalaman saya dalam mengakses layanan publik, menurut saya metode yang paling memenuhi seluruh preferensi milenial tersebut adalah adanya semacam layanan call centre dengan menggunakan Whatssapp/Instagram/Line/Telegram. Namun demikian, dari seluruh aplikasi tersebut, saya cenderung tetap mengunggulkan Whatsapp sebagai medianya. 

Berdasarkan survei yang dilakukan oleh GlobalWebIndex (GWI) seperti yang dipublikasikan oleh datareportal.com [https://datareportal.com/reports/digital-2021-indonesia diakses pada 10 Agustus 2021)], pada Januari 2021, dari 274,9 juta jiwa penduduk Indonesia, sebanyak 73,7% nya atau sebesar 202,6 juta jiwa adalah pengguna internet. Dari total pengguna internet tersebut, Whatsapp merupakan aplikasi yang paling sering digunakan oleh para pengguna internet (sebesar 87,7%). Angka tersebut adalah yang kedua setelah penggunaan Youtube (93,8%). Whatssapp juga merupakan aplikasi sosial media yang durasi penggunaan per bulannya paling lama yaitu rata-rata sebanyak 30,8 jam per bulan. Dari data tersebut, wajarlah kalau Whatsapp masih jadi idola.

Saya termasuk yang sering coba-coba WA layanannya instansi pemerintah. Sayangnya memang belum banyak yang menyediakan layanan tersebut. Sejauh pengalaman saya, ini dia yang paling juara




Mengapa juara?
  • Yang menjawab bukan mesin, Semuanya dijawab personal sesuai dengan permintaan. Saya suka bete kalau pertanyaan saya dijawab sekedar mesin, yang kadang-kadang responnya beda dengan maksud pertanyaan saya;
  • Bahasanya tidak begitu formal, tapi tetap sopan. Saya pribadi jadi merasa nyaman tidak merasa berjarak;
  • Fast Respon,,,ini penting banget. Kalau dijawabnya kelamaan, apa gunanya pake WA?
  • Centang birunya dinyalakan, jadi saya tau pasti kalau pesan saya sudah diterima dengan baik;
  • Selama percakapan, tidak lupa pertugas mempromosikan tugas dan fungsinya. Bahkan, di akhir percakapan, petugas memberikan contoh portfolionya.👍👍.👍

Tapi,,untuk menyelenggarakan layanan seperti ini tentu saja banyak tantangannya. Setidaknya harus disediakan petugas khusus yang menangani layanan tersebut, yang selalu siap paling tidak selama jam kerja. Petugas harus dilatih dengan baik untuk menjawab seluruh pertanyaan yang ditanyakan sesuai dengan kapasitasnya. Beberapa pertanyaan memang tidak bisa dijawab sekaligus karena mungkin bukan wewenang petugas tersebut untuk menjawab. Namun petugas tetap harus menjawab dan memberikan pemahaman kepada customer bahwa pertanyaannya akan dijawab kemudian,
Yang paling berat memang mempertahnkan komitmen dan konsistensi. Berusaha tetap ramah apapun kondisinya.

--Jadi, apa kita berani menjawab tantangan milenial?--

















Komentar