Mengapa Komoditi Bansos Mahal?

 

Sejak si papa ngerjain bansos, lama-lama saya jadi ikut juga mengakrabi buku Pedoman  Umum Program Sembako Perubahan I Tahun 2020  ini. hehehe,,

Baru-baru ini, sempat viral di media pemberitaan tentang Bu Risma (menteri sosial) marah-marah karena mengetahui harga komiti bansos mahal. Detail marahnya mengapa? ini saya tautkan beberapa link terkait yaa,

https://www.jpnn.com/news/bu-risma-kasihan-kalau-orang-miskin-dapat-harga-lebih-mahal

https://www.republika.co.id/berita/qwxf0f484/di-pekalongan-risma-tidak-bisa-sembunyikan-kekecewaannya

https://mediaindonesia.com/humaniora/407011/harga-jual-sembako-lebih-mahal-mensos-akan-hapus-e-warong

Sebelum membahas lebih lanjut  mengapa harga komoditi sembako bansos bisa lebih mahal, perlu diketahui terlebih dahulu, bahwa di Indonesia ini ada banyak sekali jenis bantuan sosial yang diadakan oleh Pemerintah. Pada bahasan kali ini, kita hanya akan membahas mengenai  bantuan sosial Sembako. Bantuan Sosial Sembako sendiri merupakan transformasi dari program Bantuan Pangan Non Tunai yang sudah dimulai sejak tahun 2017 sebelum pendemi terjadi. Secara singkat proses penyaluran bansos sembako tersebut sebagai berikut.

  1. Bansos sembako disalurkan kepada para Keluarga Penerima Manfaat (KPM). Pada program ini ada dua jenis KPM yaitu KPM PKH (Program Keluarga Harapan) dan KPN Non PKH. PKH sendiri adalah program penaggulangan kemiskinan yang sudah dicanangkan sejak tahun 2007. KPM PKH dengan demikian akan menerima hampir semua komplementer bantuan dari pusat, tergantung jenis komponen yang dimiliki, yaitu bantuan dari program PKH, Kartu Indonesia Sehat (KIS), Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan bantuan sembako. Sedangkan KPM Non PKH hanya akan menerima bantuan sembako saja.  Jumlah PKM PKH sendiri dalam program ini jauh lebih besar daripada KPM Non PKH. Penerima PKH dalam program ini biasanya jauh lebih besar, bisa mencapai 80% dari keseluruhan KPM bantuan sembako.
  2. Setiap KPM akan dibekali semacam kartu ATM yang disebut KKS (Kartu Keluarga Sejahtera). Secara otomatis, bank yang ditunjuk oleh pemerintah akan mengirimkan uang sebesar Rp200.000,00 pada pada kartu KKS tersebut setiap bulan (atau setiap kali penyaluran).
  3. KPM dapat membelanjakan uang yang terdapat dalam KKS hanya untuk membeli sembako pada e-warong. E-warong adalah salah satu jenis KUBE (Kelompok Usaha Bersama) yang anggotanya terdiri dari 10 KPM PKH. Jadi sejarah berdirinya e-warong, memang tak lepas dari upaya pemberdayaan KPM PKH supaya bisa lebih mandiri nantinya. Pada awal dibentuknya, e-warong tersbeut mendapatkan dana hibah dari Kementerian Sosial yang dijadikan modal usaha. Selain e-warong, terdapat tempat transaksi bansos sembako lainnya yang disebut agen46. Pada dasarnya agen46 sama saja dengan e-warong, namun agen tersebut adalah warung yang memang sudah berbetuk warung dari awalnya (bukan warung yang sengaja dibentuk sebagai KUBE penyaluran bantuan sembako).
  4. Sesuai yang diatur pada Pedoman Umum Bantuan Sembako Tahun 2020 Perubahan I, komoditi yang dijual terdiri dari sumber karbohidrat, sumber protein hewani (bukan produk instan), sumber protein nabati (kacang-kacangan termasuk tahu dan tempe), serta sumber vitamin dan mineral (sayur dan buah).
  5. Pada proses penyaluran bantuan sosial, banyak pendamping sosial yang dilibatkan. Ada Pendamping Bansos Pangan, Pendamping PKH, Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK), dan pihak-pihak lain yang mempunyai peran dan tanggungjawab masing-masing, dan tentu saja mempunyai pengaruh yang berbeda-beda.
Pada beberapa link berita yang saya tautkan tadi, disebutkan bahwa mahalnya sembako yang dijual kepada para KPM disebabkan karena mekanisme penyaluran yang harus melalui e-warong tersebut. Mengapa e-warong bisa jadi biang keroknya? 
Berikut ini analisis saya yang saya kumpulkan dari berbagai sumber di internet serta hasil ngobrol-ngobrol dengan si papa yang memang pelaku penyaluran bansos sembako.

Pertama, masalah distribusi KPM
Sesuai dengan pedoman umum program sembako, KPM bebas bertransaksi di ewarong maupun agen46 manapun. Sesuai pedoman, idealnya setiap banyaknya e-warong dan agen mempunyai perbandingan 1:250 KPN. Jadi apabila ada 1000 KPM di suatu wilayah, maka di wilayah tersebut terdapat 4 e-warong ataupun agen. Dengan demikian, idealnya diharapkan setiap e-warong dan agen mempunyai paling tidak jumlah KPM  yang bertransaksi yang sama.
Namun demikian, pada kenyataannya tidak demikian. Walaupun ada beberapa e-warong/agen, transkasi di suatu wilayah umumnya terpusat di segelintir e-warong saja. Hal tersebut terjadi karena diduga KPM telah diarahkan oleh oknum Pendamping sosial untuk bertransaksi di e-warong tertentu. Mengapa perlu diarahkan? Hal ini untuk memudahkan Pendamping tersebut untuk berkoordinasi dengan e-warong dalam penyaluran bantuan sembako. Dengan demikian, e-warong yang kebanjiran transkaksi biasanya adalah e-warong yang didampingi oleh pendamping tersebut.

Kedua, masalah permodalam e-warong.
E-Warong memang KUBE yang awalnya dibentuk untuk penyaluran bantuan sembako. Diharapkan dengan stimulus modal dan kepastian transaksi tiap periodenya dari transaksi penyaluran bantuan, KUBE-KUBE tersebut akhirnya bisa mengembangkan usahanya menjadi usaha yang berkelanjutan. Namun pada prakteknya tidak demikian. Kebanyak KUBE tersebut setelah sekian lama tidak juga bisa mandiri dan mengembangkan usahanya. Banyak diantaranya yang aktif hanya pada saat akan penyaluran saja.
Karena tidak juga bisa mandiri, E-Warong umumnya tidak cukup mempunyai modal untuk menyediakan komoditi yang dibutuhkan tiap bulannya. Untuk itu, akhirnya E-warong tersebut akan memilih vendor yang bisa bisa menyediakan barang konsinyasi. Barang dulu, bayar kemudian. Hal tersebut memang diperbolehkan. Dalam pedoman umum program sembako memang disebutkan bahwa e-warong dapat bekerjasama dengan pemasok barang pangan dari berbagai sumber dengan memperhatikan tersedianya pasokan bahan pangan secara berkelanjutan dengan kualitas dan harga yang kompetitif. 

Ketiga, masalah pemilihan vendor (rekanan pihak ketiga)
Pada pedoman umum program sembako, memang disebutkan bahwa e-warong bebas bekerjasama dengan siapa saja. Namun pada kenyataannya, terdapat semacam konsensus tidak tertulis yang mengatur vendor mana saja yang dapat berkontribusi di suatu wilayah dan pembagian KPMnya. Jadi, bisa dibayangkan, bagaimana kompetisi para vendor tersebut untuk bisa manjadi pemasok di wilayah tertentu bukan?
Siapa yang memilih vendor? Umumnya vendor bukan dipilih sendiri oleh e-warong, namun ada pihak ketiga (semacam makelar vendor) yang menjadi perantara dalam memilih vendor, bisa jadi makelar tersebut berasal dari penamping sosial, oknum di eksekutif pemerintah daerah, dan lain sebagainya.

Keempat, masalah pemaketan
Pedoman umum program sembako mengatur bahwa penyaluran bantuan sembako tidak boleh dipaketkan. Artinya, setiap KPM dapat memilih sendiri barang apa saja yang akan dibelinya dengan dana sebesar Rp200.000,00 yang dimilikinya. Namun pada kenyatannya tidak demikian. Umumnya yang terjadi adalah pemaketan. Mengapa? Kalau tidak dipaketkan, e-warong tentu saja akan kewalahan untuk membuat perencanaan penyediaan komoditi yang akan dijual.
Pemaketan ini akhirnya menjadi suatu kesepakatan yang terjadi secara luas di suatu wilayah, bahwa dalam satu kali belanja sebesar Rp200.000,00 tersebut, para KPM akan menerima berapa kg beras, berapa kg telur, berapa kg kacang-kacangan, dan sebagainya. 
Lalu, apakah boleh misalnya e-warong tidak melakukan pemaketan? tentu saja boleh, malah itu seharusnya yang dilakukan. Namun opsi ini pada umumnya tidak dpilih karena akan mengganggu "stabilitis' penyaluran bantuan sembako di suatu wilayah.

Kelima, masalah Harga Barang dan Keuntungan E-warong
Pada pedoman umum program sembako, diatur bahwa harga jual komoditi di e warong harus mengacu pada suatu standar harga tertentu yang ditetapkan oleh pihak yang berwenang mengeluarkan standar harga. Namun masalahnya, tidak semua daerah mempunyai standar harga tersebut, Kalaupun ada, pemutakhiran standar harga yang dilakukan hanya 1-2 kali setahun tidak bisa mengantisipasi harga pasar barang komoditas yang sangat sensitif atas dinamika permintaan dan penawaran. Bayangkan saja, penyaluran bantuan sembako umumnya dilakukan pada waktu yang hampir bersamaam untuk satu wilayah kabupaten/kota. Permintaan barang tentu saja akan naik. Jadi, wajar kan kalau harga naik? Belum lagi faktor lainnya seperti kondisi hari raya, perubahan musim, dan lain sebagainya.
Selain masalah harga barang, umumnya para petugas yang bertugas untuk memantau penyaluran bansos tidak mempunyai pengetahuan yang memadai terkait kualitas barang. Jadi, kalaupun ada standar harga, tidak ada yang bisa memastikan bahwa kualitas barang yang diatur dalam standar harga dengan barang existing.
Kedua kondisi tersebut akhirnya dapat menjadi suatu alasan bahwa acuan standar harga tidak bisa selalu digunakan dalam pengadaan barang komoditi sembako. Belum lagi pada pedoman umum program sembako tidak diatur pula berapa seharusnya keuntungan yang dapat diambil oleh e-warong/agen. 

----Kombinasi lima kondisi yang saya ceritakan tersebut akhirnya menyebabkan bansos bisa saja menjadi mahal. Bisa jadi karena :
  1. memang mahal dari sananya karena hukum permintaan dan penawaran
  2. mahal karena adanya ongkos transaksional yang dibebankan dalam harga komoditi yang bisa jadi mencakup keuntungan vendor, keuntungan makelar vendor, keuntungan e warong, dan biaya-biaya lain yang dibebankan akibat adanya kompetisi persaingan pemilihan vendor.
Kalau memang menggunakan vendor tertentu harga menjadi lebih malah, apakah boleh e-warong pindah ke vendor lainnya yang menawarkan harga yang lebih murah? BOLEH dan BISA.
Lalu mengapa komoditi bansos tetap saja mahal?

Pada akhirnya, semua praktek yang dijalankan tersebut akan membentuk skema semacam kartel.
Kalaupun mendapatkan harga murah, bukan KPM yang diuntungkan, tapi keuntungan pihak yang lain yang bertambah. Bisa jadi itu menjadi keuntungan vendor, keuntungan makelar vendor, keuntungan e-warong, atau siapa saja,yang jelas bukan keuntungan KPM

Ruwet ya???



Komentar